banner 728x250

Menulis Sejarah dengan Akal Sehat: Fadli Zon Serukan Kejujuran, Bukan Sensasi

Keterangan Gambar: Menteri Kebudayaan Fadli Zon (Foto: Irfan Latif / garudatribune.com)
Keterangan Gambar: Menteri Kebudayaan Fadli Zon (Foto: Irfan Latif / garudatribune.com)

GARUDATRIBUNE.COM – Jakarta : Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyerukan perlunya menulis sejarah dengan jernih, rasional, dan bertanggung jawab. Dalam tanggapannya terhadap polemik penggunaan istilah “massal” dalam tragedi Mei 1998, ia menegaskan bahwa sejarah harus dipahami dengan empati, tanpa kehilangan akal sehat.

“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” ujar Fadli Zon dalam pernyataan tertulis yang diterima pada Selasa (19/6).

Fadli Zon menanggapi perdebatan seputar tragedi kemanusiaan 1998, terutama kritik terhadap narasi kekerasan seksual yang disebut “massal”. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak menolak keberadaan korban, tetapi mengingatkan pentingnya ketepatan istilah dalam mendeskripsikan peristiwa sejarah, apalagi yang berkaitan dengan kejahatan serius.

“Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa membuat luka makin dalam dan kebenaran makin kabur,” tegasnya.

Menurutnya, penggunaan kata “massal” mengandung konsekuensi hukum dan akademik yang besar. Ia merujuk pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, yang memang mencatat adanya kekerasan seksual, namun tidak mengindikasikan pola sistematis yang memenuhi definisi kekerasan seksual massal dalam kerangka hukum internasional.

Meski demikian, Fadli menegaskan bahwa keberpihakan pada korban tetap menjadi keharusan negara. Ia mendukung penguatan lembaga seperti Komnas Perempuan dan pendekatan keadilan transisional yang menyeluruh.

“Empati tidak harus emosional. Empati juga berarti memastikan bahwa setiap peristiwa dipahami dalam proporsinya yang benar, agar keadilan bisa ditegakkan tanpa keraguan,” ujarnya.

Lebih jauh, Fadli mengajak publik dan media untuk tidak menanggapi sejarah dengan kemarahan atau tuntutan emosional belaka. Ia meminta ruang bagi sejarawan dan akademisi untuk bekerja secara objektif tanpa tekanan politik atau desakan opini publik yang belum terverifikasi.

“Tugas negara adalah menghormati para korban, namun juga memastikan bahwa sejarah ditulis dengan tanggung jawab, bukan berdasarkan tekanan atau sensasi,” katanya.

Fadli juga menilai polemik ini bisa menjadi momentum reflektif untuk menolak lupa secara sehat, bukan dengan saling menyudutkan atau membingkai ulang peristiwa secara sembarangan. Ia menyampaikan perlunya keseimbangan antara empati dan akurasi sejarah.

“Sejarah yang adil adalah yang bisa menampung air mata, tapi juga bisa menyaring dusta,” pungkasnya.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, turut memberikan penjelasan. Ia menyatakan bahwa Menbud Fadli Zon tidak menyangkal tragedi Mei 1998, namun mempertanyakan penggunaan istilah “massal” yang dinilai belum dikaji tuntas secara akademik maupun legal.

“Menbud tidak membantah kejadian tersebut. Ia hanya ingin agar narasi sejarah tetap berdasarkan standar ilmiah yang ketat,” ujar Pratikno dalam siaran yang sama.

Di tengah polemik ini, seruan Fadli Zon menjadi pengingat pentingnya menulis sejarah bangsa dengan kepala dingin, hati terbuka, dan pijakan kuat pada fakta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *