GARUDATRIBUNE.COM – Kutai Barat, Kalimantan Timur : Sosok Ismail Thomas bukan nama asing dalam peta kekuasaan Kalimantan Timur, khususnya Kutai Barat. Dua periode menjabat sebagai Bupati (2006–2015) dan sempat duduk di kursi DPR RI Dapil Kalimantan Timur periode 2019–2024, menjadikan Ismail Thomas sebagai figur sentral politik daerah. Namun, kilau kariernya meredup tajam ketika pada Agustus 2023, ia ditetapkan sebagai terdakwa kasus korupsi di sektor pertambangan, dengan tuduhan pemalsuan dokumen perizinan yang menyeret PT Sendawar Jaya.
Di tengah pusaran hukum yang melilitnya, muncul pertanyaan publik yang tak kalah penting: dari mana sesungguhnya sumber kekayaan Ismail Thomas yang seolah tak terhitung itu berasal?
Tabir Kekayaan: Rumah Mewah yang “Disewa”
Tim Investigasi GarudaTribune Kalimantan Timur melakukan penelusuran mendalam selama lebih dari tiga bulan di wilayah Kutai Barat. Salah satu temuan mencolok adalah soal hunian mewah yang saat ini ditempati Ismail Thomas di kawasan strategis Jalan Sendawar Raya, tepat di belakang Lamin Taman Budaya Sendawar. Rumah ini disebut-sebut sebagai hasil sewa dari seorang pengusaha lokal ternama, H. Kusnaini (H. Kusen).
Namun, sejumlah keganjilan menyeruak. Pertama, secara sosial dan finansial, tidak masuk akal jika seorang tokoh sekaya Ismail Thomas justru memilih menyewa rumah di kampung halamannya sendiri. Kedua, investigasi menemukan bahwa rumah tersebut secara informal dikenal dengan sebutan RHK – Rumah Harapan Keluarga, sebuah penamaan internal yang digunakan oleh keluarga besar Ismail Thomas dan istrinya, Lucia Mayo.
Informasi dari narasumber yang memiliki kedekatan dengan keluarga, termasuk pengakuan ipar Ismail Thomas, Marthinus, mencoba menguatkan narasi bahwa rumah tersebut adalah hasil sewa. Bahkan, Marthinus mengirimkan pesan singkat:
“Kalo ini memang benar karena Pak IT atau Ismail Thomas sewa rumah itu mas, terima kasih. bukti sewa pakai ada, sertifikat atas nama H.Kusen.”
Namun investigasi tidak berhenti di satu pengakuan. Sumber lain, termasuk para pekerja bangunan yang dilibatkan dalam konstruksi rumah tersebut, mengungkap bahwa seluruh proses pembangunan rumah — termasuk perubahan desain berulang kali — dikendalikan langsung oleh Ismail Thomas dan dibiayai sendiri oleh yang bersangkutan.
Jejak H. Kusen: Kontraktor Langganan Proyek Pemerintah
Penelusuran lebih jauh mengarah pada sosok H. Kusnaini (H. Kusen), pengusaha konstruksi yang sangat dikenal di Kutai Barat. Melalui perusahaannya, PT Budi Daya, ia mengerjakan berbagai proyek jalan dan jembatan sejak masa kepemimpinan Ismail Thomas hingga saat ini. Data proyek memperlihatkan adanya relasi bisnis intensif antara H. Kusen dan pemerintah daerah yang kala itu dipimpin langsung oleh Ismail Thomas.

Fakta penting terungkap: pembangunan rumah mewah yang diduga kuat milik Ismail Thomas tersebut didukung oleh suplai alat berat dan material bangunan dari pihak H. Kusen. Salah satu orang dekat Ismail Thomas, berinisial R, menyatakan bahwa sebagian besar “fee” proyek besar yang diterima H. Kusen dialirkan untuk membiayai pembangunan rumah tersebut. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa rumah tersebut bukan milik H. Kusen, melainkan bagian dari gratifikasi terselubung akibat relasi bisnis dan kekuasaan.
Jika benar proyek pemerintah digunakan untuk membiayai aset pribadi pejabat publik, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan:
Pasal 2 ayat (1) & Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Pasal 12B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Gratifikasi
Penyamaran Aset: Indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang
Narasi “sewa menyewa” yang diklaim oleh pihak keluarga besar Ismail Thomas kian sulit dipertahankan. Semua indikator yang ditemukan di lapangan — mulai dari kontrol atas properti, asal-usul pembiayaan, hingga keterlibatan pihak ketiga penerima manfaat dari proyek pemerintah — menyiratkan adanya skema penyamaran kepemilikan aset.
Rumah mewah bernilai puluhan miliar rupiah ini diyakini sebagai hasil tindak pidana korupsi yang disamarkan melalui skema sewa atas nama pihak ketiga. Dalam konteks hukum, hal ini mengandung unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sebagaimana dimaksud dalam:
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010
Apabila terbukti bahwa H. Kusen secara sadar meminjamkan nama atau perusahaannya untuk menyamarkan kepemilikan aset milik Ismail Thomas, maka yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Skema nominee seperti ini biasa digunakan untuk menghindari pelacakan aset oleh Aparat Penegak Hukum (APH), dan termasuk dalam praktik money laundering menurut standar hukum internasional.
Saatnya APH Bertindak Tegas
Temuan ini menunjukkan pola klasik dalam praktik korupsi politik daerah: penyalahgunaan wewenang, penyamaran aset, dan penggunaan pihak ketiga sebagai tameng hukum. Jika APH — termasuk Kejaksaan, KPK, dan PPATK — bersungguh-sungguh menegakkan hukum, maka properti di Jalan Sendawar Raya dan seluruh keterkaitan keuangan antara Ismail Thomas dan H. Kusen harus segera diselidiki secara forensik.
“Korupsi bukan sekadar mencuri uang negara. Korupsi adalah persekongkolan sistematis yang membungkam keadilan dan merusak moral bangsa.”
Pewarta: Ade Setiady
Editor : Rosiani Lutfhi
Copyright © GarudaTribune.com 2025