Skandal Tambang Emas Ilegal Sungai Kelian: Kades Terlibat, Jaringan Terstruktur, Lingkungan Dirusak, Hukum Diuji
GARUDATRIBUNE.COM – Sendawar, Kutai Barat – Kutai Barat tengah dilanda krisis ekologis akibat maraknya aktivitas tambang emas ilegal. Penambangan Tanpa Izin (PETI) di kawasan Sungai Kelian, Kampung Kelian Dalam, Kecamatan Tering, bukan hanya merusak lingkungan secara brutal, tetapi juga membuka tabir keterlibatan aparat desa dan jaringan tambang yang terstruktur, sistematis, serta terorganisir rapi.
Penggerebekan oleh Polres Kutai Barat pada Kamis (13/3/2025) berhasil menahan dua pelaku. Namun, publik tak puas. Pertanyaan menggantung di udara: Apakah hanya dua pelaku ini yang bersalah? Atau ada skenario lebih besar yang sengaja disembunyikan?
Kapolres Kutai Barat, AKBP Boney Wahyu Wicaksono, melalui Kasat Reskrim Polres Kubar, Iptu Rangga Asprilla Fauza, menyatakan:
“Keduanya saat ini telah ditahan di Rutan Polres Kubar untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.”
Namun, investigasi GarudaTribune.com menemukan bahwa operasi tambang emas ilegal ini telah berjalan selama 4 hingga 6 bulan terakhir. Dengan dalih “normalisasi sungai”, para pelaku menyamarkan aktivitas pengerukan emas dari Sungai Kelian menggunakan belasan unit alat berat. Di balik dalih itu, tersembunyi skenario manipulatif untuk mengelabui hukum.
Nama Kepala Desa Kelian Dalam, Imran Rosadi, mencuat sebagai pihak yang mengoordinasi aktivitas ini. Ia diduga tidak bekerja sendiri. Beberapa nama lain yang disebut antara lain Hutabarat alias Darno, Anton, Undin, M. Rustam alias Batang, Keban, dan Rizal—semuanya diduga bagian dari jaringan tambang ilegal yang bekerja secara sistematis dan disebut-sebut sebagai koordinator lapangan.
Seorang warga yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan:
“Mereka terbagi dua tim—satu di Sungai Babi Kelian Dalam, satu lagi di wilayah Tutung. Ada belasan alat berat, mereka kerja siang malam dari Gah Tabuk sampai Gah Sadiah.”
Jaringan ini tak hanya besar, tetapi juga ekspansif. Kegiatan penambangan meluas hingga ke Kampung Linggang Tutung, Kecamatan Linggang Bigung. Tambang berjalan nyaris tanpa henti, sementara Sungai Kelian terus sekarat.
Wartawan Gadungan dan Uang ‘Pengamanan’
Lebih memprihatinkan lagi, skandal ini menyeret oknum yang mengaku sebagai wartawan, yakni Andi Mulyati Pananrangi, pengurus Aliansi Jurnalis Bersatu (AJB). Ia diduga mengelabui warga Kelian Dalam dan aparat dengan menyatakan telah mengatur komunikasi dengan pihak kepolisian. Namun, sejak penggerebekan, Andi raib—jejaknya hilang bersama terbongkarnya operasi tambang ilegal ini.
Mereka disebut meminta uang “pengamanan” sebesar Rp15 juta per unit excavator, dengan janji proyek tambang tak akan disentuh hukum. Bahkan, mereka mengklaim telah “berkoordinasi” dengan aparat kepolisian.
“Ada sistem, ada skenario. Mereka tahu cara mengakali hukum. Tapi hukum jangan hanya menjerat operator kecil,” tegas salah satu sumber yang terlibat menyaksikan penggerebekan.
Sumber lain yang berhasil dikonfirmasi, yakni Mojo dan Johan, juga memberikan pernyataan mengejutkan. Mereka mengaku bahwa warga diwajibkan membayar pungutan sebesar Rp15 juta per unit excavator oleh pihak AJB. Hal ini mereka ungkapkan kepada GarudaTribune.com pada Kamis (27/03/2025).
Ekolog Rusak, Negara Absen?
Sorotan tajam datang dari aktivis lingkungan, Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim. Ia mengecam keras kerusakan ekologis di Sungai Kelian yang menurutnya berlangsung dengan pembiaran struktural.
“Ini bukan tambang liar biasa—ini bentuk brutal dari perampokan sumber daya. Sungai Kelian rusak parah, air tercemar, biota menghilang. Negara hadir sebatas retorika, sementara tambang terus menggila,” ujar Mareta kepada GarudaTribune.com.
Mareta juga mengkritisi lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Ia menuntut agar aparat tidak berhenti di pelaku lapangan, tetapi juga menindak aktor intelektual, termasuk pejabat desa dan oknum yang memfasilitasi.
“Ini operasi besar, tidak mungkin berjalan tanpa perlindungan kekuasaan. Penegakan hukum harus menyeluruh. Kami juga menuntut pemulihan lingkungan secara konkret dan transparan,” tambahnya.
Krisis Tambang, Ujian Tegaknya Hukum
PETI di Kutai Barat telah menjadi ancaman nyata terhadap lingkungan, masyarakat, dan supremasi hukum. Publik menuntut tindakan nyata, bukan sekadar pencitraan. Penegakan hukum tak boleh tumpul ke atas. Harus ada pembongkaran menyeluruh terhadap aktor utama di balik layar.
Siapa yang memberi izin? Siapa yang memfasilitasi? Siapa yang menutup mata?
Semua harus diungkap. Hukum tak boleh tunduk pada uang dan kekuasaan.
Pewarta: Ade Stiady
Editor: Rosiani Lutfhi
© GarudaTribune.com 2025