banner 728x250

Kasus Kamaruddin: Korupsi atau Sengketa Bisnis? Menguji Batas Perdata dan Pidana

Keterangan Gambar: Tersangka Kamaruddin Ibrahim digiring petugas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta usai penetapan status tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif senilai Rp 431 miliar (Dok. Ade Setiady / garudatribune.com)
Keterangan Gambar: Tersangka Kamaruddin Ibrahim digiring petugas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta usai penetapan status tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif senilai Rp 431 miliar (Dok. Ade Setiady / garudatribune.com)

GARUDATRIBUNE.COM – Kalimantan Timur: Kasus hukum yang menjerat Anggota DPRD Kalimantan Timur, Kamaruddin Ibrahim, terus menyita perhatian publik dan menimbulkan perdebatan tajam di kalangan praktisi hukum. Kamaruddin, politisi dari Partai NasDem, resmi ditahan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta atas dugaan keterlibatan dalam proyek fiktif pengadaan barang dan jasa bersama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dengan nilai fantastis mencapai Rp 431 miliar.

Penetapan tersangka dilakukan melalui Surat Penetapan TAP-17/M.1/Fd.1/05/2025 tertanggal 7 Mei 2025. Namun, tak lama setelah pengumuman tersebut, tim kuasa hukum Kamaruddin menyampaikan pembelaan keras dengan narasi yang sangat berbeda. Mereka menilai bahwa tuduhan tersebut seharusnya tidak masuk ranah pidana.

Menurut Fatimah Asyari, Ketua Tim Kuasa Hukum Kamaruddin, kerja sama antara pihak swasta yakni PT Fortuna dan PT Telkom merupakan bentuk kontrak bisnis murni yang sah secara hukum. “Ini bukan proyek fiktif. Ini hubungan dagang yang sah dan bersifat perdata. Justru kriminalisasi ini bisa menciptakan preseden buruk bagi dunia usaha di Indonesia,” tegas Fatimah dalam konferensi pers pada Kamis, 22 Mei 2025.

Ia juga menyebutkan bahwa dana yang dipermasalahkan telah dikembalikan dan sejumlah aset telah diserahkan sebagai jaminan, sehingga tidak ada kerugian negara yang nyata.

Namun, perspektif dari kalangan akademisi menunjukkan sinyal peringatan lain. Orin Gusta Andini, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menekankan pentingnya menghormati proses hukum yang telah berjalan. “Penyidik telah menetapkan status tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup dan prosedur yang sah. Bila ada kerugian negara dan unsur kesengajaan, maka kasus ini tetap masuk ranah pidana, bukan sekadar perdata,” ujarnya.

Debat ini pun membawa publik pada pertanyaan krusial: dimanakah batas antara sengketa bisnis dan tindak pidana korupsi? Dalam praktiknya, banyak kasus serupa yang dinilai sebagai pelanggaran kontrak kemudian bergeser menjadi tuduhan pidana, terutama ketika dana publik atau institusi negara terlibat.

Kini, perhatian publik tertuju pada transparansi dan integritas aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus ini. Apakah Kamaruddin benar-benar melakukan tindakan melawan hukum dengan niat jahat, ataukah ini merupakan kriminalisasi atas transaksi bisnis yang memiliki risiko komersial?

Yang jelas, proses pengadilan akan menjadi panggung akhir yang menentukan. Kasus ini bukan hanya soal seorang politisi dan dugaan korupsi, tapi juga soal kejelasan batas hukum yang menjadi fondasi negara. Di tengah tuntutan reformasi hukum yang terus bergema, kasus Kamaruddin menjadi ujian penting bagi arah penegakan hukum di Indonesia.


Pewarta: Ade Setiady
Editor: Rosiani Lutfhi
Copyright © garudatribune.com 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *