GARUDATRIBUNE.COM – Kutai Barat, Kalimantan Timur : Lebih dari satu dekade setelah masa kepemimpinan Ismail Thomas sebagai Bupati Kutai Barat (2006–2015), luka yang ditinggalkan baru benar-benar terasa dalam kehidupan masyarakat. Di balik deretan janji manis saat sosialisasi proyek-proyek perkebunan dan tambang, kini tersingkap kisah penderitaan warga yang lahannya diobral tanpa ampun. Kepemimpinan yang dulu dielu-elukan justru menyisakan jejak keserakahan yang sistematis dan merusak.
Warga di dua kecamatan, Bentian Besar dan Siluq Ngurai, menjadi korban dari perampasan ruang hidup secara legal melalui izin konsesi. Lahan seluas 20.000 hektare dikavelingkan kepada perusahaan perkebunan PT Borneo Citra Persada Jaya (BCPJ) berdasarkan izin nomor 525.29/K.1135/2013 yang ditandatangani oleh Ismail Thomas pada 11 September 2013. Kampung-kampung seperti Dilang Puti, Suakong, Jelemuq Sibak, Sambung, Kiaq, Penawang, dan Lendian Liang Nayuq kini hidup dalam bayang-bayang perusahaan besar, tanpa kejelasan hak dan penghidupan.
Padahal saat awal, masyarakat dijanjikan pembagian plasma 20% dari luas perkebunan sebagai bentuk kemitraan dan jaminan ekonomi. Namun janji tinggal janji. Hingga kini, masyarakat hanya menerima uang talangan yang memprihatinkan: Rp150.000 – Rp500.000 setiap tiga bulan sekali. Itu pun tanpa kejelasan mekanisme, transparansi, atau bentuk pertanggungjawaban perusahaan.
“Kami seperti ditipu. Dulu janjinya dapat penghasilan dari plasma 20%, minimal 2 hektare per Kepala Keluarga. Katanya kami tinggal duduk manis, nyatanya sekarang kami cuma bisa duduk menangis,” keluh Misran, warga Kecamatan Bentian Besar (26/05/2025).

Keluhan ini bukan satu-satunya. Suara senada datang dari warga lain, Rudi, yang mengungkap bahwa berbagai Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di DPRD Kutai Barat tidak pernah menghasilkan solusi.
“Beberapa kali dilakukan RDP di DPRD Kubar, tapi hasilnya nihil. Perusahaan tidak menunjukkan itikad baik menyelesaikan hak masyarakat soal plasma. Seakan mereka lupa perjanjian awal dulu,” tegas Rudi.
Lebih jauh, Rudi menuturkan kekecewaan yang lebih mendalam setelah mengetahui bahwa Ismail Thomas masih menerima royalti fee dari sejumlah perusahaan, serta adanya praktik gratifikasi saat penerbitan izin konsesi, yakni sekitar Rp2,5 juta hingga Rp4 juta per hektare. Bayangkan berapa nilai total gratifikasi dari puluhan ribu hektare yang dijual atas nama pembangunan.
“Saya dengar langsung dari beberapa tokoh. Bahkan mantan kepala desa dan lembaga adat juga dapat ‘uang bulanan’ Rp2,5 juta per bulan agar tidak menghambat proses perusahaan di lapangan. Itu perintah langsung dari Bupati waktu itu,” tambah Rudi.
Investigasi GarudaTribune.com mengungkap bahwa selama dua periode jabatannya, Ismail Thomas telah memberikan izin kepada 31 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan 22 perusahaan tambang batu bara. Ini menciptakan ‘lahan konsesi raksasa’ yang meminggirkan masyarakat adat dan lokal, memiskinkan mereka, serta merusak tatanan sosial dan ekologis yang sebelumnya lestari.
Daftar perusahaan perkebunan yang mendapat konsesi dari Ismail Thomas antara lain:
- PT. Borneo Citra Persada Jaya
- PT. Citra Agro Kencana
- PT. Palmulya Selaras Abadi
- PT. Kutai Agro Lestari
- PT. Ketapang Hijau Lestari
- …dan 26 perusahaan lainnya.
Sementara perusahaan tambang yang mengantongi izin mencakup:
- PT. Bangun Olah Sarana Sukses
- PT. Bumi Enggang Khatulistiwa
- PT. Gunung Bara Utama
- PT. Citra Dayak Lestari
- PT. Kencana Wilsa
- …dan 17 lainnya.
Langkah yang diambil Ismail Thomas jelas mencerminkan gaya kepemimpinan feodal dan transaksional, di mana kekuasaan dijadikan alat memperkaya diri dan kroni, dengan mengorbankan masa depan masyarakat. Pengelolaan sumber daya yang seharusnya memperkuat ekonomi lokal justru menjadi pintu masuk bagi eksploitasi besar-besaran dan penghisapan hak rakyat.
Saat ini, warga hanya bisa berharap pada perubahan politik dan hukum yang mampu menelusuri dan mengadili kebijakan-kebijakan merugikan tersebut. Sebab keadilan tidak boleh hanya menjadi cerita, sementara luka sosial terus menganga.
Pewarta: Ade Setiady
Editor: Rosiani Lutfhi
Copyright©garudatribune.com2025