Garudatribune.com, SENDAWAR – Polemik masa jabatan kepala adat di Kabupaten Kutai Barat (Kubar) semakin memanas. Kepala Adat Besar Kubar, Manar Dimansyah, menilai Surat Edaran (SE) Bupati yang membatasi masa jabatan kepala adat hanya 5 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali periode, keliru secara hukum dan justru membingungkan masyarakat adat.
Menurut Manar, pemerintah daerah sah-sah saja bermitra dengan Presidium Dewan Adat (PDA). Namun, ia menilai kebijakan tersebut lebih bernuansa politis ketimbang yuridis.
“Kalau bicara sikap lembaga adat, kami tidak mempermasalahkan pemerintah bermitra dengan PDA. Tapi jelas itu faktor politis, bukan yuridis. Secara hukum, tidak ada alasan. SK saya sebagai Kepala Adat Besar masih berlaku sampai 2029 dan saya dipilih melalui musyawarah besar para kepala adat se-Kubar,” kata Manar saat ditemui di kantor DPRD Kubar, Senin (25/8/2025).
Ia menegaskan, meski pemerintah condong bermitra dengan PDA, Lembaga Adat Besar tidak bubar dan tetap menjalankan fungsi serta tugas sebagaimana mestinya.
“Lembaga adat tetap melaksanakan tugas, seperti pelestarian budaya, pembangunan, hingga pemberian izin upacara adat. Itu sudah tupoksi lembaga adat. Jadi, apapun sikap pemerintah, lembaga adat tetap ada,” tegasnya.
Bertentangan dengan Perda 2006
Manar menilai, pembatasan masa jabatan melalui SE Bupati mengabaikan aturan lain, yakni Perda 2006.
“Dalam Perda 2006 ditegaskan bahwa periode kepengurusan lembaga adat ditentukan berdasarkan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku. Itu otomatis menganulir pembatasan lima tahun yang disebut dalam SE. Tapi hal ini terabaikan, bahkan SE itu diberlakukan mundur,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan tersebut menimbulkan dampak serius. Banyak kepala adat yang sebelumnya telah menjabat lebih dari dua periode atau mendapat perpanjangan melalui musyawarah besar tiba-tiba dianggap tidak sah.
“Itu ngawur. Semua keputusan perpanjangan jabatan hasil musyawarah para kepala adat, bukan inisiatif saya pribadi. Jadi kalau dibilang tidak sah, dasarnya apa?” tegas Manar.
Lembaga Adat Bukan Ormas
Menanggapi keberadaan PDA yang dianggap legal karena berbadan hukum melalui akta notaris dan pengesahan Kemenkumham, Manar menilai lembaga adat tidak bisa disamakan dengan organisasi kemasyarakatan.
“Kalau ormas, memang wajib ada SK Kemenkumham. Tapi lembaga adat berbeda. Walaupun tidak ada SK Kemenkumham, akta pendiriannya bisa dilegalisasi pengadilan. Karena lembaga adat memang bukan ormas,” jelasnya.
Masyarakat Dibuat Bingung
Manar menyayangkan kondisi ini justru menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Banyak kampung akhirnya menggelar pemilihan kepala adat tanpa dasar hukum yang jelas.
“Mestinya rujukan utama itu peraturan desa atau peraturan kampung. Tapi di Kutai Barat, peraturan kampung (Perkam) yang dimaksud dalam UU Desa belum ada. Jadi kalau pemilihan tetap dilakukan hanya berdasar SE dan Perda 2001, ya dasarnya lemah. Sementara ada Perda 2006 yang justru lebih relevan,” ungkapnya.
Menurut asas hukum, aturan baru otomatis mengesampingkan aturan lama. Dengan demikian, Perda 2006 seharusnya mengesampingkan Perda sebelumnya.
“Tapi kenyataannya, pemerintah justru merujuk ke aturan lama. Itu keliru,” sindir Manar.
Desak DPRD Gelar RDP
Meski dikenal vokal mengkritik, Manar mengaku tidak bermaksud menyalahkan pemerintah. Ia hanya meminta agar pemerintah lebih jeli agar masyarakat tidak bingung.
“Kalau SE diberlakukan, seharusnya berlaku ke depan, bukan surut ke belakang,” pintanya.
Lembaga Adat Besar, kata Manar, telah melayangkan surat ke DPRD Kubar agar segera digelar rapat dengar pendapat (RDP) guna membahas legitimasi lembaga adat.
“Legitimasi ini sangat penting, supaya jelas, tidak ada tumpang tindih aturan, dan masyarakat tidak jadi korban kebingungan akibat kebijakan yang keliru,” tutupnya.
Pewarta: Ade Setiady
Editor : Rosiani Lutfhi
Copyright © GarudaTribune.com 2025