GARUDATRIBUNE.COM – Kalimantan Timur: Pengungkapan dugaan korupsi di tubuh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Samarinda kembali menegaskan bahwa persoalan tata kelola di lembaga keuangan daerah belum sepenuhnya aman dari praktik manipulatif. Kasus kredit fiktif yang menyebabkan kerugian negara Rp4,68 miliar kini memasuki babak serius setelah Polresta Samarinda menahan dua tersangka utama.
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus ini diungkap dalam konferensi pers di Markas Polresta Samarinda, Rabu, 3 Desember 2025. Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, menyebut penyelidikan telah dimulai sejak 2023. Kini prosesnya resmi masuk tahap penyidikan.
“Alhamdulillah, pada pertengahan 2025 sudah ditingkatkan ke penyidikan hingga penetapan tersangka,” ujar lulusan Akpol 2002 itu.
Dua tersangka yang ditahan adalah ASN, mantan Kepala Bagian Kredit BPR Samarinda, dan SL, seorang pengusaha properti. Keduanya diduga bekerja sama menciptakan skema kredit fiktif yang berlangsung sejak Januari 2019 hingga Mei 2020.
Rangkaian Modus: Dari Identitas Palsu hingga Dana Nasabah Hilang
Polisi mengungkap setidaknya tiga modus utama. Pertama, penciptaan kredit fiktif melalui penggunaan identitas warga tanpa izin. ASN diduga memproses 16 kredit fiktif hingga total Rp2,7 miliar. Sebagian besar identitas diperoleh SL dari data calon pembeli rumah di perusahaan propertinya.
“Modus dari saudara SL adalah menyediakan delapan data calon nasabah hanya dengan satu objek jaminan. Saat pencairan, dana digunakan SL sendiri,” jelas Kapolresta.
Modus kedua adalah manipulasi nilai agunan yang dibesarkan tanpa dasar. Dua kredit diketahui mengalami pembengkakan nilai hingga Rp370 juta, meski jaminannya tidak layak.
Modus ketiga lebih serius: penggunaan agunan milik debitur lain secara berulang untuk pengajuan kredit senilai Rp1 miliar. Selain itu, polisi menemukan penggelapan pelunasan kredit sebesar Rp473 juta yang tidak pernah masuk ke kas bank.
Kepala Satreskrim, AKP Agus Setyawan, menambahkan adanya pencairan deposito tanpa izin sebesar Rp131 juta.
“Dana deposito nasabah ikut dicairkan tanpa otorisasi, dan BPR yang harus menanggung akibatnya,” ujar Agus.
Temuan ini diperkuat audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kaltim yang menetapkan kerugian negara sebesar Rp4,68 miliar.
Barang bukti berupa uang tunai Rp404 juta sudah diamankan penyidik. Keduanya kini dijerat Pasal 2, 3, 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Respons Wali Kota Samarinda
Terpisah dari proses hukum, Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menegaskan Pemkot sejak awal mendorong penyelesaian tuntas atas dugaan penyimpangan di BPR.
“Segala sesuatu yang menyangkut tentang sangkaan tindak pidana korupsi maupun pidana umum seperti penggelapan, kami serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum,” tegasnya.
Andi Harun mengungkap bahwa indikasi penyimpangan bukan hal baru. Evaluasi pemerintah kota beberapa tahun terakhir telah mencatat anomali serius dalam pengelolaan kredit BPR. Atas dasar itu, direksi lama akhirnya diberhentikan melalui sanksi administratif sebelum kasus masuk ke jalur pidana.
“Seketat apa pun aturan, penjahat akan selalu mencari celah,” ujarnya menekankan pentingnya integritas SDM pengelola lembaga keuangan daerah.
Dewan Pengawas: Kasus Ini Justru Momentum Perbaikan
Ketua Dewan Pengawas BPR Samarinda, Ali Fitri Noor, menyatakan bahwa pengungkapan kasus ini menjadi momentum pembenahan besar-besaran.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada kepolisian yang sudah menindaklanjuti kasus ini. Penyelesaian hukum membuka peluang pengembalian dana dan mengurangi beban keuangan bank,” ungkapnya.
Ia memastikan bahwa manajemen BPR kini memperketat fungsi pengawasan, memperbaiki rasio kredit bermasalah (NPL), serta melakukan konsolidasi internal. Ali berharap langkah ini mampu mengembalikan kepercayaan publik sekaligus menumbuhkan kontribusi laba BPR terhadap Pemkot Samarinda.
Pewarta: Ade Setiady
Editor: Rosiani Lutfhi
Copyright © garudatribune.com 2025
















